
Pada awal era 2000-an, merek otomotif asal Cina mulai memasuki pasar Indonesia dengan produk-produk seperti Chery untuk kendaraan roda empat serta motor murah bermerk Sanex, Jialing, dan Tossa. Namun, pada masa itu, kualitas kendaraan merek Cina masih dianggap kurang baik oleh konsumen Indonesia. Selain itu, layanan purna jual atau aftersales yang disediakan belum mampu menandingi eksistensi merek otomotif Jepang yang telah lebih dulu mendominasi pasar otomotif Indonesia sejak era 70-an. Hal ini menyebabkan tren penjualan kendaraan merek Cina menurun dan merek-merek Jepang tetap mendominasi pasar otomotif Indonesia. Konsumen Indonesia saat itu lebih memilih merek Jepang karena dianggap lebih handal, memiliki build quality yang lebih baik, serta jaringan layanan after sales yang jauh lebih merata, lebih berkualitas, dan lebih terpercaya.
Perubahan signifikan mulai terjadi ketika Wuling melakukan investasi besar-besaran dengan membangun pabrik di Indonesia pada tahun 2015 yang mulai beroperasi pada 2017. Wuling memproduksi model Confero yang secara langsung bersaing dengan Toyota Avanza yang sejak lama menjadi mobil keluarga favorit di Indonesia. Keberadaan pabrik lokal ini menjadi titik balik bagi industri otomotif Cina di Indonesia karena Wuling berusaha menghilangkan stigma buruk yang melekat pada merek Cina selama ini. Mereka meningkatkan build quality kendaraan agar lebih refine dan menghadirkan layanan aftersales yang lebih baik dengan membangun banyak bengkel resmi di seluruh Indonesia. Selain Confero, Wuling juga meluncurkan produk lain seperti Cortez, Almaz, serta mobil listrik seperti Air EV, Binguo EV,dan Cloud EV, memperkuat posisi mereka di pasar otomotif Indonesia. Langkah ini menunjukkan bahwa merek Cina mulai serius untuk berkompetisi secara jangka panjang dengan merek Jepang dan global lainnya di Indonesia.
Memasuki era 2020-an, ekspansi merek otomotif Cina semakin masif dan agresif. Ekspansi ini juga tak hanya dilakukan di Indonesia, namun juga hamper di seluruh belahan dunia, terutama di segmen kendaraan listrik. Di Indonesia, sejumlah merek baru asal Cina masuk ke pasar, seperti BYD, Geely, Chery yang kembali hadir, Great Wall Motor (GWM), AION, Neta, Jetour, dll. Indonesia sebagai salah satu negara yang dipercaya menjadi basis produksi beberapa merk otomotif dan juga menjadi salah satu yang terbesar di dunia menyambut baik langkah ini. Dengan posisi strategis sebagai basis produksi otomotif di kawasan ASEAN, Indonesia berupaya mengajak merek-merek Cina tersebut untuk melakukan investasi lebih dalam dengan membangun pabrik di dalam negeri. Langkah ini sejalan dengan misi pemerintah Indonesia untuk memperkuat industri otomotif nasional, khususnya dalam pengembangan kendaraan listrik yang menjadi fokus global saat ini.
Meski demikian, keberhasilan diplomasi ini tidak dapat dilangsungkan dengan cepat, tentunya upaya Indonesia untuk menarik investasi industri otomotif Cina harus dilakukan dengan menerapakan beberapa indikator penting. Indikator penting ini meliputi beberapa sektor yang menjadi determinan keberhasilan diplomasi Indonesia seperti : stabilitas ekonomi dan politik, jaminan sumber daya yang memadai, infrastruktur yang mendukung, serta ketersedian energi yang terbarukan.
Indikator pertama adalah berlangsungnya stabilitas ekonomi yang dimulai dari stabilitas politik yang baik. Bagi para investor, adanya jaminan kepastian hukum dan makroekonomi menjadi indicator penting yang patut dipertimbangkan sebelum menyuntik modal investasinya. Realita yang terjadi di Indonesia saat ini adalah adanya gejolak nilai tukar rupiah terhadap Dollar AS yang cukup fluktuatif. Melemahnya nilai tukar rupiah ini dapat memicu adanya ketidakpastian dalam dunia ekonomi, yang juga tentunya hal ini akan bersinggungan dengan berbagai hal, termasuk masuknya beberapa komponen kendaraan maupun bahan baku lainnya. Karena dalam proses transisi lokalisasi industri sendiri, pabrikan tak akan mungkin langsung bergantung pada vendor lokal. Seperti halnya merk otomotif lain yang telah lebih dulu melanglangbuana, contohnya Toyota Kijang yang awalnya memiliki Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) 19% di generasi Kijang Buaya menjadi 85% di generasi Kijang Innova Reborn dalam kurun waktu 38 tahun.
Adannya ketidakstabilan nilai tukar tersebut tak bisa lepas dengan realita keadaan politik regional. Dalam kurun waktu 2024-2025, Indonesia tengah mengalami ketegangan politik dalam masa transisi kepemimpinan pasca pemilu. Dipengaruhi oleh polarisasi yang masih sangat kuat antara faksi yang mendukung pemerintah dengan faksi yang kerap mengkritik pemerintah. Denngan adanya permasalahan tersebut, upaya diplomasi investasi yang tengah ditempuh pemerintah harus disertai dengan dukungan langkah-langkah yang konkret dalam melakukan stabilisasi situasi dalam negeri. Pemerintah harus menjamin kebijakan ekonomi yang kuat, dalam artian tak mudah terpengaruh oelh adanya tekanan politik, serta menjunjung tinggi komitmen pembangunan industri otomotif yang konsisten.