
Padang, 26 Mei 2025 – Di era ketika motor-motor baru berlomba menawarkan teknologi canggih, panel digital, dan fitur pintar, ada satu hal menarik yang justru muncul dari kalangan muda—mereka justru memalingkan wajah ke masa lalu. Motor tua kini bangkit lagi, dan di antara sekian banyak model, Yamaha Mio Sporty 5TL muncul sebagai salah satu ikon yang paling banyak diburu.
Sebagai penggemar roda dua, saya sendiri tak bisa memungkiri daya tarik motor ini. Mio 5TL, generasi pertama dari skuter matik Yamaha yang rilis sekitar tahun 2003-an, punya sesuatu yang tidak dimiliki motor-motor sekarang: kesederhanaan yang jujur, dan performa yang tangguh di zamannya.
Bodi ramping, mesin 110cc yang galak di putaran awal, dan konstruksi yang gampang dibongkar-pasang membuat Mio ini jadi favorit anak-anak bengkel. Bukan cuma nostalgia, tapi juga karena motor ini memang punya “nyawa” yang bisa diolah sesuai selera. Dari yang suka gaya thailook dengan pelek tipis dan warna mencolok, sampai ke street racing dengan mesin bore up, semuanya menjadikan Mio 5TL sebagai kanvas bebas berekspresi.
Saya pernah ngobrol dengan Fikri, salah satu pemuda di komunitas 5TL Enthusiast. Katanya, dia beli Mio 5TL bekas dari marketplace Facebook seharga Rp2,5 juta. “Tapi sekarang, setelah dimodif, orang nawar sampai 15 juta juga gak saya lepas,” katanya sambil tertawa bangga. Baginya, motor tua bukan soal harga, tapi tentang proses membangun karakter.
Yang bikin kagum, anak-anak muda ini gak cuma jago modif, tapi juga bangun komunitas. Kopdar setiap akhir pekan, touring santai ke danau, bahkan bikin acara rolling city sambil bawa pesan safety riding. Ini bukan sekadar gaya-gayaan, tapi semangat membangun ruang bersama lewat hobi yang sama.
Lalu, kenapa Mio 5TL? Banyak yang bilang karena model ini punya desain dasar yang simpel dan serbaguna. Suspensinya empuk, rangkanya kuat, dan mesinnya termasuk bandel asal dirawat rutin. Suku cadangnya? Masih melimpah, karena basisnya sama dengan banyak varian Mio generasi awal.
Tentu saja ada tantangan. Emisi gas buangnya tidak sebersih motor baru, dan kadang perawatannya bisa menyita waktu. Tapi justru di situlah keseruannya. Karena motor ini bukan sekadar alat transportasi, tapi teman perjalanan. Teman yang dirawat, diajak cerita, dan dibentuk jadi bagian dari identitas pemiliknya.
Kalau sekarang kamu melihat Mio tua berseliweran di jalan—dengan lampu neon, stiker khas, atau suara knalpot renyah—jangan buru-buru menghakimi. Bisa jadi, itu adalah karya anak muda yang sedang membangkitkan kembali kenangan lama dengan sentuhan baru.
Dan di tengah dunia otomotif yang makin digital, motor tua seperti Mio 5TL membuktikan bahwa “jiwa” masih jadi hal yang utama.